Ramal-meramal tentang satu atau dua putaran tampaknya cukup penting dalam konstelasi Pilpres tahun 2009 ini. Masalahnya adalah bahwa sebagai paket dengan presiden bertahan (incumbent), SBY-Boediono merupakan paket yang dapat disebut sebagai against all odds, proses penentuannya tidak melalui negosiasi Parpol tetapi memiliki banyak keuntungan karena sedang memerintah. Maka strategi pokok lawan SBY-Boediono mudah ditebak, yaitu memastikan Pemilu menjadi dua putaran. Selanjutnya kubu JK-Wiranto dan Mega-Prabowo akan menggabungkan masing-masing konstituen mereka untuk menantang SBY-Boediono pada putaran kedua.
Mengingat massa Golkar dan PDIP kini sama-sama berseberangan dengan partai Demokrat yang ada di peringkat tertinggi perolehan suara dan mendominasi parlemen, kemungkinan aliansi dengan sasaran pertama berupa election running off dan memastikan tidak terjadi absolute majority sangat masuk akal.
Kembali ke soal survei, di negara-negara yang memiliki lembaga-lembaga survei independen sebenarnya orang dapat menjadikan hasil survei sebagai rujukan. Dalam situasi di mana independensi lembaga survei bisa dijamin dan objektivitas dari survei itu sendiri dapat
diuji dan diverifikasi secara ilmiah, survei tetap dapat diandalkan untuk menjajaki opini publik.
Per definisi, survei berarti pengambilan kesimpulan atas populasi dengan meneliti sampel tertentu. Survei dilakukan karena tidak mungkin dilakukan sensus terhadap semua responden mengingat keterbatasan dana dan faktor-faktor teknis lainnya. Namun survei yang baik tetap
dapat digunakan untuk membuat kesimpulan secara tajam.
Itulah sebabnya, di negara-negara maju para pemimpin dan masyarakatnya tetap memperhitungkan hasil survei secara serius dan membandingkannya dengan isu-isu politik atau perumusan kebijakan yang sedang berjalan. Dalam sebuah buku yang berjudul Polling Matters: Why Leaders Must Listen to the Wisdom of the People (2004), Frank Newport mengatakan bahwa bagaimanapun juga pemimpin perlu memperhatikan survei-survei indikatif karena ia mencerminkan opini publik yang berkembang pada masa tertentu.
Dengan demikian, sebagai masyarakat yang modern dan percaya kepada metode ilmiah dalam proses politik dan perumusan kebijakan, penggunaan survei bagi semua kalangan adalah sah adanya dan justru menunjukkan kedewasaan cara berpikir. Setidaknya, perhatian kepada hasil survei oleh para politisi dan perumus kebijakan jauh lebih baik ketimbang jika mereka percaya kepada ramalan paranormal atau dukun.
Namun, perlu juga dipahami bahwa hasil survei sama sekali tidak akan menentukan takdir. Terlebih lagi, jika lembaga survei yang melakukan publikasi itu bukan merupakan lembaga independen, masyarakat harus hati-hati di dalam menafsirkan hasilnya dan apalagi menggunakannya sebagai pedoman dalam menentukan pilihan. Belakangan ini, bahkan di Eropa dan Amerika pun mulai banyak pakar yang bersikap skeptis terhadap hasil survei yang dilakukan dengan muatan politik tertentu.