Wamena dan Kepemimpinan Nasrul Abit

0
113

Tragedi berdarah yang merenggut nyawa sembilan orang warga perantauan Minang di Wamena, Papua, telah berlalu setahun yang lalu sejak terjadinya. Ditanggal 23 September 2019 lalu, sekelompok orang melakukan aksi teror di ibukota Kabupaten Jayawijaya itu. Mereka menjarah serta membakar rumah, toko dan gedung perkantoran, lalu membunuh siapa saja yang mereka jumpai. Sejumlah 33 orang meregang nyawa, ratusan orang luka-luka, dan ribuan orang lainnya mengungsi ke tenda-tenda.

Berawal sejak pagi hari, aksi teror yang mencekam itu dimulai. Saat mentari baru menyongsong dari ufuk timur, sekelompok massa yang memakai seragam SMK, menggelar unjukrasa. Adanya isu rasialis menjadi pemicu utamanya. Dituduh oleh mereka salah seorang guru di sekolah telah mengeluarkan kata-kata yang mengandung unsur rasisme. Unjukrasa itu dengan cepat berubah menjadi aksi anarkistis. Beberapa waktu terakhir terkuak, aksi itu rupanya tidak murni unjukrasa para siswa, melainkan sebuah gerakan terencana karena para demonstran telah disusupi oleh kelompok kriminal bersenjata.

Di pagi hari waktu itu, asap hitam membumbung di angkasa. Api terkobar membakar rumah-rumah warga. Lama-lama langit menjadi semakin pekat, karena kebakaran terus membesar. Terdengar suara tembakan berdentuman. Kalut yang dirasakan warga sipil. Mereka berlarian, mencari tempat perlindungan. Warga yang didominasi kaum pendatang ini menyasar kantor polisi dan markas TNI. Di tempat tersebut, setidaknya mereka bisa selamat untuk sementara. Tetapi, tidak semua orang berhasil menyelamatkan diri. Banyak yang terkepung di tengah aksi massa yang beringas.

Keadaan kota sangat mencekam. Kerusuhan itu berlangsung hingga malam. Tidak banyak yang bisa dilakukan aparat keamanan. Prioritas utama mereka adalah mengamankan para pengungsi, sembari menunggu tambahan personil dari ibukota provinsi. Setiap sudut kota masih dikuasai kelompok kriminal bersenjata. Sementara di pengungsian, kondisi warga memprihatinkan. Mereka kekurangan makanan dan obat-obatan. Pakaian yang tersisa, hanya yang melekat di badan.

Itu malam yang terasa sangat panjang. Ketakutan menjadi selimut. Malam itu juga terasa ketika hidup terasa semakin papa. Mata hampir tidak bisa terpejam. Badan diselumuti kegalauan dari hembusan angin malam yang dingin dan basah. Kegelapan membalut tangis kesedihan dan ratap pilu orang Minang yang tengah sengsara. Tangis dan darah mereka tertumpah di bumi Cendrawasih.

Terdengar nyaring oleh masyarakat Minang di tanah Sumatera,
kepiluan warga perantauan di Papua. Bahkan, pemimpin daerah, Wakil Gubernur Sumatera Barat, Nasrul Abit (NA), memilih untuk turun langsung melihat kondisi para pengungsi. Di saat kondisi keamanan yang belum stabil, mantan Bupati Pesisir Selatan itu datang ke tenda-tenda, menyapa warga perantauan yang tengah gundah gulana. Nasrul Abit menjadi kepala daerah pertama yang datang menembus daerah konflik di Wamena.

Untuk para pengungsi, datangnya NA terasa seperti obat mujarab yang diresepkan dokter berpengalaman. Belum dimakan obatnya, tetapi rasa sakitnya sudah hilang. Mereka mengadukan semua keperihan kepada NA. Sama layaknya seorang anak yang berkeluh-kesah kepada sang bapak. Nasrul Abit mendengar dengan berurai air mata. Terdapat 1.470 warga perantauan Minang yang ketika itu berada di pengungsian. Sebagian dari mereka ingin pulang ke kampung halaman. Akan tetapi, sebagian lainnya masih ingin bertahan. NA mengamini permintaan itu, dan berjanji mencarikan solusi atas persoalan mereka.

Kemudian
NA memfasilitasi 320 orang perantau Minang untuk pulang ke Sumbar. Sebagian besar mereka adalah perempuan dan anak-anak. Sementara sisanya diungsikan ke Jayapura, menunggu kondisi Wamena pulih seperti sediakala. NA juga menginisiasi penggalangan dana, untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hanya dalam beberapa hari, terkumpul dana lebih dari Rp4 miliar. Dana itu kemudian dibagikan kepada para korban.

Saat ini, setahun sudah berlalu sejak tragedi berdarah itu terjadi. Perasaan duka dan kepedihan mulai berangsur hilang dari ingatan para korban. Tapi, perhatian yang dulu diberikan NA, ketika mereka didera kesusahan, tidak akan pernah hilang dari kenangan. Kepedulian sikap kepemimpinan NA terhadap derita warganya, akan diingat selamanya. Meskipun mereka mengadu untung jauh di rantau orang, tetapi pemimpin di kampung halaman rupanya tetap hirau dengan nasib dan keselamatan mereka. Memang begitulah cara seorang pemimpin itu diuji. Dalam situasi krisis akan terlihat pemimpin mana yang betul-betul bisa bekerja, atau yang hanya pandai bicara.

Dikatakan oleh mantan Gubernur Sumbar yang juga pernah menjabat Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, NA bukanlah sekedar pemimpin formal. NA paham bagaimana kedudukan seorang pemimpin di Minangkabau. Perumpamaan ‘Kayu gadang di tangah koto. Pai tampek batanyo, pulang tampek babarito,’ (Pohon besar di tengah kota. Pergi menjadi tempat orang bertanya, pulang tempat memberi berita). Pemimpin seperti inilah yang sangat dibutuhkan Sumbar ke depan.(*)