Ujian Kepemimpinan Nasrul Abit dan Duka Wamena

0
108

Setahun berlalu tepat pada 23 September 2019, tragedi berdarah yang merenggut nyawa sembilan orang warga perantauan Minang di Wamena, Papua.Sekelompok orang melakukan aksi teror di ibukota Kabupaten Jayawijaya itu. Mereka menjarah serta membakar rumah, toko dan gedung perkantoran, lalu membunuh siapa saja yang mereka jumpai. Sebanyak 33 orang meregang nyawa, ratusan orang luka-luka, dan ribuan orang lainnya mengungsi ke tenda-tenda.
Aksi teror itu awalnya terjadi pagi hari. Sekelompok massa yang memakai seragam SMK, menggelar unjukrasa. Isu rasialis menjadi pemicu utamanya. Mereka menuduh salah seorang guru di sekolah telah mengeluarkan kata-kata yang mengandung unsur rasisme. Unjukrasa itu dengan cepat berubah menjadi aksi anarkistis. Gerakan ini merupakan gerakan terencana karena para demonstran telah disusupi oleh kelompok kriminal bersenjata tidak murni unjukrasa para siswa.
Dengan waktu yang bersamaan rumah-rumah warga terbakar, Suara tembakan berdentuman. Warga ketakutan mereka berlarian, mencari tempat untuk perlindungan. Para warga yang didominasi kaum pendatang ini menyasar kantor polisi dan markas TNI. Di sana, setidaknya mereka bisa selamat untuk sementara. Sayangnya, tidak semua orang berhasil menyelamatkan diri. Banyak yang terkepung di tengah aksi massa yang beringas.
Kerusuhan itu berlangsung sampai malam hari. Keadaan kota sangat mencekam. Aparat keamanan tidak bisa berbuat banyak saat itu. Prioritas utama mereka adalah mengamankan para pengungsi, sambil menunggu tambahan personil dari ibukota provinsi. Setiap sudut kota masih dikuasai kelompok kriminal bersenjata. Sementara di pengungsian, kondisi warga memprihatinkan. Mereka kekurangan makanan dan obat-obatan. Pakaian yang tersisa, hanya yang melekat di badan saja.
Malam itu adalah malam yang panjang yang dirasakan warga. Malam di mana penuh dengan rasa ketakutan akan datang serangan lagi. Mata sulit untuk dipejamkan. Kegelapan membalut tangis kesedihan dan ratap pilu perantau Minang yang tengah sengsara. Tangis dan darah mereka tertumpah di bumi Cendrawasih.
Kepiluan warga perantauan Minang di Papua, terdengar nyaring oleh masyarakat Minang di tanah Sumatera Barat. Bahkan pemimpin daerah, Wakil Gubernur Sumatera Barat, Nasrul Abit (NA), memilih untuk turun langsung melihat kondisi para pengungsi minang. Di tengah kondisi keamanan yang belum stabil, Nasrul Abit datang ke tenda-tenda, menyapa warga perantauan yang tengah gundah gulana. Ia merupakan kepala daerah pertama yang datang menembus daerah konflik di Wamena.
Kedatangan NA terasa bak obat mujarab bagi para pengungsi. Mereka mengadukan semua keperihan kepada Wagub Sumbar Nasrul Abit saat itu. Layaknya seorang anak yang berkeluh-kesah kepada sang bapak. NA mendengar dengan berurai air mata. Ada 1.470 warga perantauan Minang yang kala itu berada di pengungsian. Sebagian dari mereka ingin pulang ke kampung halaman. Namun, sebagian lainnya masih ingin bertahan. NA mengamini permintaan itu, dan berjanji mencarikan solusi atas persoalan mereka.
Kemudian wagub Sumbar Nasrul Abit memfasilitasi 320 orang perantau Minang untuk pulang ke Sumbar. Mayoritas mereka adalah perempuan dan anak-anak. Sedangkan sisanya diungsikan untuk sementara waktu ke Jayapura, sampai kondisi Wamena aman seperti sediakala. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, NA juga menginisiasi penggalangan dana. Hanya dalam beberapa hari, terkumpul dana lebih dari Rp 4 miliar. Dana itu kemudian dibagikan kepada para korban.
Kini, sudah genap satu tahun berlalu tragedi berdarah itu terjadi. Duka dan kepedihan mulai berangsur hilang dari ingatan para korban. Namun, perhatian yang dulu diberikan Nasrul Abit, ketika mereka didera kesusahan, tidak akan pernah hilang dari kenangan. Sikap kepemimpinan NA yang peduli terhadap derita warganya, akan diingat selamanya. Memang begitulah cara seorang pemimpin itu diuji. Dalam situasi krisis akan terlihat pemimpin mana yang betul-betul bisa bekerja, atau yang hanya pandai bicara.
Seperti kata mantan Gubernur Sumbar yang juga pernah menjabat Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, NA bukanlah sekedar pemimpin formal. Ia paham bagaimana kedudukan seorang pemimpin di Minangkabau. Ibarat ‘Kayu gadang di tangah koto. Pai tampek batanyo, pulang tampek babarito,’ (Pohon besar di tengah kota. Pergi menjadi tempat orang bertanya, pulang tempat memberi berita). Pemimpin seperti inilah yang sangat dibutuhkan Sumbar ke depan. (*)