Setahun berlalu tepat pada 23 September 2019, tragedi berdarah yang merenggut nyawa sembilan orang warga dari Minang di Wamena, Papua.Sekelompok orang melakukan aksi teror di ibukota Kabupaten Jayawijaya itu. Mereka menjarah serta membakar rumah, toko dan gedung perkantoran, lalu membunuh siapa saja yang mereka jumpai. Sebanyak 33 orang meregang nyawa, ratusan orang luka-luka, dan ribuan orang lainnya mengungsi.
Aksi teror itu awalnya terjadi pagi hari.Yang dilakukan oleh sekelompok massa yang memakai seragam SMK. Isu rasialis menjadi pemicu utamanya. Mereka menuduh salah seorang guru di sekolah telah mengeluarkan kata-kata yang mengandung unsur rasisme. Unjukrasa itu dengan cepat berubah menjadi aksi anarkistis. Belakangan terkuak, aksi itu rupanya tidak murni unjukrasa para siswa, melainkan sebuah gerakan terencana karena para demonstran telah disusupi oleh kelompok kriminal bersenjata.
Pagi itu rumah-rumah warga terbakar, kerena aksi teror tersebut, Suara tembakan berdentuman. Warga ketakutan mereka berlarian, mencari tempat untuk perlindungan. Para warga yang didominasi kaum pendatang ini menyasar kantor polisi dan markas TNI. Di sana, setidaknya mereka bisa selamat untuk sementara. Sayangnya, tidak semua orang berhasil menyelamatkan diri. Banyak yang terkepung di tengah aksi massa yang beringas.
Kerusuhan itu berlanjut sampai malam hari. Keadaan kota sangat mencekam. Aparat keamanan tidak bisa berbuat banyak.Kerena setiap sudut kota masih dikuasai kelompok kriminal bersenjata. Prioritas utama aparat keamana yaitu mengamankan para pengungsi, sambil menunggu tambahan personil dari ibukota provinsi. kondisi warga memprihatinkan, Mereka kekurangan makanan dan obat-obatan. Pakaian yang tersisa, hanya yang melekat di badan.
Malam itu adalah malam di mana perasaanketakutan atau jauh dari rasa aman dan nyaman yang dirasakan warga saat itu. Malam ketika hidup terasa semakin papa. Mata nyaris tidak bisa terpejam. Kegalauan menyelimuti badan dari hembusan angin malam yang dingin dan basah. Kegelapan membalut tangis kesedihan dan ratap pilu perantau Minang yang tengah sengsara. Tangis dan darah mereka tertumpah di bumi Cendrawasih.
Kesedihan warga perantauan Minang di Wamena Papua, terdengar oleh masyarakat Minang di tanah Sumatera Barat. Bahkan, pemimpin daerah, Wagub Sumatera Barat, Nasrul Abit (NA), memilih untuk turun langsung ke Wamena melihat kondisi para pengungsi. Di tengah kondisi keamanan yang belum stabil, mantan Bupati Pesisir Selatan itu datang ke tenda-tenda, menyapa warga perantauan yang tengah gundah gulana. Ia menjadikepala daerah pertama yang datang menembus daerah konflik di Wamena.
Bagi para pengungsi, kedatangan NA terasa bak obat mujarab bagi para pengungsi minang saat itu. Mereka mengadukan semua keperihan kepada Nasrul Abit. Layaknya seperti seorang anak yang berkeluh-kesah kepada sang bapaknya. NA mendengar dengan berurai air mata. Ada 1.470 warga perantauan Minang yang kala itu berada di pengungsian. Sebagian dari mereka ingin pulang ke kampung halaman. Namun, sebagian lainnya masih ingin bertahan. NA mengamini permintaan itu, dan berjanji mencarikan solusi atas persoalan yang mereka hadapi saat itu.
NA kemudian memfasilitasi sebanyak 320 orang perantau Minang untuk pulang ke Sumatera Barat. Mayoritas mereka adalah perempuan dan anak-anak. Sedangkan sisanya diungsikan untuk sementara waktu ke Jayapura, menunggu kondisi Wamena pulih seperti sediakala. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, Nasrul Abit juga melakukan penggalangan dana. Hanya dalam beberapa hari, terkumpul dana lebih dari Rp 4 miliar. Dana itu kemudian dibagikan kepada para korban.
Kini, sudah genap satu tahun berlalu sejak tragedi berdarah itu terjadi. Duka dan kepedihan mulai berangsur pudar dari ingatan para korban. Namun, perhatian yang dulu diberikan Wagub Sumbar, ketika mereka didera kesusahan, tidak akan pernah hilang dari kenangan. Sikap kepemimpinan Nasrul Abit yang peduli terhadap derita warganya, akan diingat selamanya. Meski mereka mengadu untung jauh di rantau orang, tetapi pemimpin di kampung halaman rupanya tetap hirau dengan nasib dan keselamatan mereka. Memang begitulah cara seorang pemimpin itu diuji. Dalam situasi krisis akan terlihat pemimpin mana yang betul-betul bisa bekerja, atau yang hanya pandai bicara.
Seperti kata mantan Gubernur Sumbar yang juga pernah menjabat Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, NA bukanlah sekedar pemimpin formal. Ia paham bagaimana kedudukan seorang pemimpin di Minangkabau. Ibarat ‘Kayu gadang di tangah koto. Pai tampek batanyo, pulang tampek babarito,’ (Pohon besar di tengah kota. Pergi menjadi tempat orang bertanya, pulang tempat memberi berita). Pemimpin seperti inilah yang sangat dibutuhkan Sumatera Barat untuk ke depannya. (*)