Tepat di pertengahan bulan Desember 2008 seharian penuh saya berada di Yayasan Pusat Informasi, Dokumentasi dan Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) Padang Panjang. Di PDIKM ini disimpan banyak di teks-teks lama, naskah dan sumber-sumber sejarah.
Suatu yang menarik pada bulan Desember ini adalah ramainya pengunjung dari negeri jiran, Malaysia, melawat ke sana. Pada hari itu ada lima rombongan, sekitar 150 orang. Memang pelancong Malaysia pada bulan Desember sangat prospektif, sebab sejak minggu kedua Desember sampai minggu pertama Januari adalah masa libur panjang.
Pelancong-pelancong itu tampak sangat antusias, termasuk keinginan mereka untuk mendengarkan bahasa Minangkabau secara langsung. Namun kesannya, pelaku wisata Sumbar tidak siap dan tidak profesional. Ketidaksiapan dan ketidak-profesioanalan itu terlihat daripada sikap dan cara pegawai PDIKM yang kasak-kusuk dan super sibuk dalam melayani para tamu, rasanya seperti urang baralek gadang, dan buru-buru bolak balik mengambil piring dan nasi ke dapur.
Karena kurangnya pegawai, dan sistemnya yang manual, pegawai PDIKM sibuk lari bolak balik antara lantai satu (tempat berphoto di pelaminan) dan lantai dua tempat para tamu berkunjung dan membeli karcis. Sehari itu tampak tidak ada ketenangan.
Tamu-tamu yang baru datang dipersilakan naik ke Rumah Gadang PDIKM, setiap rombongan negeri jiran itu diberikan taklimat (ceramah). Salah satu rombongan dari negeri Sembilan kebetulan ingin mendengarkan taklimat dalam bahasa Minangkabau, sebab mereka ingin mendengarkan langsung bahasa nenek moyang mereka. Namun taklimat yang diberikan diucapkan dengan kata-kata yang sangat cepat dan kurang dipahami oleh wisatawan itu.
Maklumlah, orang negeri Sembilan tidak lagi menggunakan bahasa Minangkabau asli sebagaimana lazimnya orang Minangkabau di Sumatera Barat. Generasi muda mereka sudah dipengaruhi oleh kosa kata Inggris.Karena itu suatu kali disarankan oleh para wisatawan itu agar si pemberi taklimat melambatkan pembicaraan. Tetapi taklimat itu terus berlangsung dengan terburu-buru.
Bahkan bahasa Minangkabaunya tidak teratur dan rujak. Taklimat yang manual ini di samping membosankan pengunjung juga melelahkan petugas, mestinya taklimat bisa diefektifkan, dikemas secara menarik dengan menggunakan audio visual.
Saat mau pulang beberapa wisatawan negeri Sembilan menengok-negok kalau ada cendera mata; seperti buku tambo dan kemasan budaya. Tetapi satu pun tidak didapatkan. Lalu beberapa orang bertanya mengenai tambo Minangkabau, namun tidak ada dijual. Pegawai PDIKM menjual satu edisi photo copy.
Di bahagian luar PDIKM sebenarnya sudah ditata rapi, namun tidak terawat, bunga-bunga tidak rapi, rumput-rumput liar di taman masih kelihatan kasat mata. Pada taman-taman itu tidak ada yang baru; tidak ada dekorasi baru dan tidak ada tataulang. Sekali berkunjung orang sudah bosan. Mungkin karena tidak ada yang baru, berwisata ke PDIKM memang sangat murah bagi wisatawan negeri itu, hanya Rp2000 per kunjungan, samalah dengan RM 60 sen.
Kalau di Malaysia sayur satu ikat pun tidak dapat.Kesannya memang negeri kita terasa miskin. Wisatanya pun miskin. Pada hal jika Dinas Pariwisata mau investasi sedikit lagi dan menata dengan menajemen yang baik, wisatawan negeri jiran itu pun tidak akan keberatan jika dipatok harga Rp.10.000,-, ini pun tidak cukup satu kali makan di Malaysia.
Negara Malaysia pun sudah biasa menetapkan harga yang lebih tinggi untuk wisatawan mancanegara. (*)