Sisawah

0
124

Berkegiatan di alam bebas akan memberikan kesenangan tersendiri bagi siapa saja yang ingin melakukannya. Kesenangan tersebut didapat dari keindahan pemandangan dan tantangan yang berhasil kita lewati pada setiap medan petualangan tersebut. Beberapa waktu yang lalu penulis kembali membuktikan dengan merasakan serunya melintasi medan petualangan perut bumi di Sisawah, Kabupaten Sawahlunto Sijunjuang. Petualangan di kedalaman perut bumi ini ternyata belum terlalu memasyarakat. Ini dibuktikan dengan minimnya pengetahuan masyarakat tentang kegiatan penelusuran gua.

Di daerah Sisawah ini terdapat banyak sekali gua, berbentuk vertikal dan horizontal. Kebanyakan gua itu masih terjaga dengan baik. Ini terlihat ketika Penulis menyisiri gua. Tidak ada sampah dan coretan dinding yang ditemui di Gua Kompe dan Gua Sungai Lantuang. Namun, untuk menemukan dua gua ini sedikit sulit, karena pintu masuknya (entrance), ditutupi oleh semak belukar.

Nampak dari kejauhan bukit bukit kapur berwarna putih menyembul berkilat ketika disinari cahaya matahari. Di sekelilingnya dihiasi oleh areal persawahan para petani yang membentang luas. Pemandangan yang begitu bagusnya menayambut kedatangan penulis beserta rombongan Anggota Muda dari Mapala Unand. Pemandangan alamnya di Sisawah Sawahlunto Sijunjuang ini seperti perbukitan-perbukitan di negeri Cina yang sering dilihat dalam buku-buku dan film silat.

Penelusuran pertama dilakukan penulis bersama Anggota Muda Mapala di gua Antabuang. Gua horizontal ini termasuk gua basah. Di dalamnya mengalir sebuah sungai kecil, dan bermuara di areal persawahan petani. Secara tidak langsung gua ini telah menjadi cadangan air bagi masyarakat disekitanya, terutama untuk pengairan padi di sawah. Jumlah rombongan waktu itu, sebanyak 20 orang.

Hampir seluruh peserta penelusuran waktu itu berdecak kagum melihat keindahan ornamen (hiasan) yang tersaji disepanjang lintasan gua ini. Tidak mengherankan, karena gua ini temasuk gua basah, dengan air yang mengalir di dalamnya. Rembesan air yang mengalir tersebut, melakukan pengikisan dan akhirnya membentuk bermacam-macam jenis ornamen. Beberapa ornamen yang paling sering ditemukan antara lain, berbentuk Sawahan (rimstonempol), Tirai (gordam), Tiang (pilars) serta ratusan stalaktit dan stalakmit.
Banyaknya ornamen yang ditemukan selama penelusuran, membuat waktu 100 menit yang terpakai untuk mencapai ujung dari gua ini, terasa begitu cepat dan singkat. Tapi masing masing tim sadar, ini bukanlah gua pertama dan terakhir yang akan mereka tempuh. Masih banyak lagi gua yang harus didatangi. Prioritas berikutnya adalah gua Kompe dan Sungai Lantuang. Tiga gua inilah yang menjadi target kami, selama berada di Sisawah ini. Di daerah yang ternyata menyimpan banyak sekali lorong – lorong di perut buminya.

Lorong-lorong perut bumi

Welcome to Kompe dan Sungai Lantuang!!! Begitu teriakan rombongan ketika berada di gua yang sangat eksotis ini. Kedua gua ini berjarak ± 1 km dari gua pertama, Antabuang. Sebelum melakukan penelusuran, terlebih dahulu kami mempersiapkan perlengkapan single rope tekhnic (SRT). Dengan kondisi gua yang vertikal ini, para Anggota Muda juga diberikan pengenalan sekaligus simulasi penggunaan perlengkapan SRT. Pada kedua gua vertikal ini, Gua Kompe mendapat giliran pertama kami kunjungi. Pintu guanya terletak dilereng sebuah pebukitan. Untuk mencapainya dibutuhkan waktu ± 15 menit dari kaki bukit. Karena memang jarang dikunjungi, jalan menuju gua ini harus kita buat sendiri dengan merambah semak belukar yang banyak tumbuh di perbukitan ini.

Setelah mencapai mulut gua, perjalanan dilanjutkan dengan menuruni gua tersebut. Perjalanan turun cukup menegangkan juga karena memiliki ketinggian ± 12 meter. Di bawahnya ditemukan sebuah ruangan yang sangat besar dan luas. Ketinggian langit- angit dari lantai gua ini mencapai ± 30 meter. Di atasnya bergelantungan dengan sangat indah puluhan stalaktit yang sudah mengering, sehingga kita yang sedang beristirahat di bawahnya tidak lagi dibasahi oleh rembesan air dari atap gua tersebut.

Setelah istirahat sejenak, dari ruangan besar tersebut, tim kembali bergerak turun. Perjalanan kali ini terasa lebih mendebarkan, karena sudah berada pada ruang gelap gulita. Pemasangan perlengkapan SRT dilakukan secara teliti disinari cahaya Headlam dari para peserta. Medan yang harus dilewati sepanjang ± 15 meter. Batu batuan gua yang banyak menyembul sepanjang dinding vertikal ini ternyata sangat rapuh. Beberapa kali bebatuan tersebut berguguran ketika tersentuh oleh anggota tim.

Alhamdulillah, dengan pergerakan cukup lambat dan hati-hati, tantangan ini berhasil kami lewati. Setelah itu, kami sampai pada ruangan yang cukup besar dan terdapat aliran air di dalalamnya. Aliran air ini keluar pada sebuah lorong sempit yang tidak bisa kami ikuti. Dari aliran air tersebut banyak terbentuk ornamen gua berbentuk kolam kolam kecil. Konon, air dari dalam gua ini juga menjadi sumber pengairan utama areal persawahan petani di sekitarnya. Setelah tiba disini, perjalanan pada gua Kompe berakhir. Pada bagian ujung gua ini, banyak sekali ornamen yang kami temui. Diantaranya gordam yang terus menerus dialiri air menghiasi ssebagian besar dindingnya.

Tidak terasa, ketika keluar dari dalam gua, hari sudah sore. Kami memutuskan untuk kembali ke base camp yang tidak jauh dari lokasi gua ini. Base camp yang kami tempati merupakan sebuah rumah penduduk. Rumah ini terletak agak terpisah dengan rumah penduduk lainnya–berada di kaki perbukitan gua Kompe. Salah seorang anak penghuni rumah, Deri (21) banyak memberikan informasi tentang keberadaan gua gua di daerahnya tersebut.
Hari berikutnya, kami melakukan persiapan penelusuran terakhir. Tujuan kali ini adalah gua Sungai Lantuang. Dari base camp kami harus berjalan sejauh ± 1 km. Perjalanan pada pagi hari yang cerah terasa sangat menyenangkan. Melintasi sawah para petani dan sebuah sungai berair jernih menambah indahnya suasana perjalanan kami. Tidak jauh berbeda dengan gua Kompe, gua Sungai Lantuang ini juga berada pada lereng sebuah perbukitan. Karena rimbunnya pohon di perbukitan ini, seluruh anggota tim harus menghabiskan waktu ± 1 jam, untuk menemukan mulut guanya.

Sesampinya di gua, tim kembali mempersiapkan perlengkapan SRT. Perjalanan turun pada gua ini tidak terlalu mengkhawatirkan. Hal ini disebabkan oleh lokasinya yang berada tidak jauh dari mulut gua, sehingga cahaya matahari masih menerangi ruang didalamnya. Gua ini tidak terlalu panjang, setelah menuruni tebing setinggi ± 8 meter, kami langsung menemui sebuah ruangan yang tidak begitu luas.

Pada bagian pinggir, dari dinding gua ini, mengalir sebuah sungai kecil. Salah seorang diantara kami, menyinari sungai kecil tersebut. Tampak beberapa ikan kecil bergerak gerak lincah menjauhi cahaya senter kami. Semua anggota tim tampak merasa puas. Bisa kami simpulkan, gua yang berhasil kami temui di daerah ini masih terjaga habitat dan ekosistem di dalamnya. Sebelum bergerak keluar, sang fotografer kami, Arie, tidak lupa mendokumentasikan seluruh keindahan gua Sungai Lantuang ini. Begitu pula dengan gua-gua sebelumnya yang telah kami telusuri. Sebelum senja menghampiri, kami bergerak menuju base camp.

Perjalanan yang dilakukan pada gua-gua ini ternyata memberi kenangan yang tak mungkin terlupakan. Keindahan yang di temukan setiap penelusuran dilakukan, telah mengingatkan kita tentang besarnya kuasa sang pencipta. Dapat kita bayangkan bahwa gua dan seluruh ornamen di dalamnya, tercipta dalam rentang waktu yang sangat panjang dan alami, tanpa campur tangan manusia. jika semuanya itu tidak berhasil kita jaga, tentu tantangan yang berhasil kami temui sekarang ini, akan tinggal cerita, pengantar tidur bagi anak cucu generasi berikutnya.

Setelah selesai makan malam, kami melakukan briefing singkat, disaksikan oleh pemilik rumah. Malam ini terasa lebih menyenangkan. Target berhasil kami capai, dan membawa segudang pengalaman yang sangat seru untuk diceritakan pada seluruh kawan-kawan. Bagi, anak muda yang hobi berpetualang, tidak ada salahnya mencoba menyusuri gua-gua yang berada di Sisawah Kabupaten Sawahlunto Sijunjuang. Keindahan dan kenikmatan petualang bisa dirasakan saat menyusuri gua-gua dengan aliran air serta ornamen-ornamen memesona dari stalaknit.(*)