Nareh Hilir merupakan satu diantara 17 desa yang berada di kawasan Kecamatan Pariaman Utara. Kawasan dengan luas 1780 km persegi ini memiliki penduduk 1.477 jiwa, berada di kawasan sentra inudstri sulaman.
Di Pariaman, ada empat desa yang menjadi sentra sulaman benang emas yang berada di Kecamatan Pariaman Utara, diantaranya Manggung, Nareh, Nareh Hilia dan Balai Nareh. Sebagian besar, kaum perempuannya menyulam untuk menambah penghasilan keluarga.
Namun mereka bukanlah pemilik usaha sulaman, tetapi mengambil upah dari sulaman tersebut. Data terakhir, dari 370 KK, hanya 12 KK yang memiliki usaha sulaman kategori menengah, memiliki showroom sulaman benang emas.
Pemilik usaha inilah yang memberikan job kepada kaum ibu untuk membuat sulaman benang emas dan bordiran benang emas. Kerajinan sulaman emas ini menurut informasi tetua adat sudah ada sejak tahun 1938. Meski demikian, taraf kehidupan sebagia besar warga di desa yang memiliki dua dusun ini berada di bawah garis kemiskinan. Setidaknya 160 KK dari 370 KK merupakan warga miskin yang menerima bantuan beras miskin setiap bulannya.
“Bagaimana tidak miskin, upah menyulam untuk satu ikat benang emas berkisar Rp 6000 hingga 7000. Maksimal setiap harinya, warga hanya bisa menyelesaikan tiga ikat benang emas, berarti penghaslan Rp 18ribu perhari. Penghasilan segitu hanya cukup untuk makan satu hari, apalagi sebagian besar warga memiliki empat hingga lima orang anak, tentu beban mereka makin berat. Sedangkan suaminya hanya nelayan, yang kadang melaut kadang tidak”ujar Sekretaris Desa Naras Hilir Yelfira kemarin.
Apalagi pasca gempa, banyak warga yang rumahnya rusak berat, sehingga mereka tidak memiliki tempat untuk menyulam. Bagi perempuan yang belum berkeluarga, merantau ke Malaysia merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kesulitan hidup di kampung.
Kondisi kontras terlihat di sepanjang jalan Nareh, ruko-ruko baru bermunculan yang dijadikan sebagai showroom. Di dalamnya berbagai produk hasil sulaman benang emas, mulai dari pakaian pengantin, kerajinan tangan hingga pelaminan. Pemasaran produk tersebut mulai dari Bukittinggi, hingga Malaysia dan Singapura. Tidak ayal, jika pengusaha tersebut memiliki penghidupan yang layak, sangat berbeda dengan kaum yang mengerjakan sulaman tersebut.(*)