Negeri itu terletak lebih dari 40 kilometer dari Plasa Payakumbuh yang ramai. 40 kilometer, tidaklah jarak tempuh yang mudah untuk sampai ke negeri yang dililit gunung itu. Setelah anda sampai di Pasar Limbanang, berbeloklah ke kiri: tanjakan-tanjakan terjal menanti, penurunan rumit, tikungan patah siku yang dibarengi aspal pecah sepanjang puluhan kilometer.
?Kalau belum pernah ke Maek, sedapat mungkin berhati-hati. Sopir luar kota pun belum berarti di sini,? seorang mengingatkan ketika mobil yang kami tumpangi berhenti karena jalan kecil dan tidak bisa dijalani dua mobil sekaligus. Kami berangkat dari Padang saat anak-anak berangkat ke sekolah di April yang cerah. Dua buah mobil mengkilap, jalanan dari Padang seolah hanya ada dalam play station.
Tapi itu tak terjadi ketika anda telah melewati sebuah spanduk selamat datang di negeri Maek. Anda akan melalui tikungan demi tikungan tajam. Jatung terasa ciut juga. Betapa tidak, jurang dalam yang terjal menghimbau. Sedang jalan tak henti dihinggapi lubang yang banyak?lubang dari badan jalan yang koyak. Nyanyi dangdut kian syahdu, mendayu-dayu dari tape mobil. Tapi itu tak cukup membuat cerah wajah tegang ibu-ibu ini.
?Ya Allah, Il?? kata seorang ibu dalam mobil yang saya tumpangi mengeluh menyebut nama anaknya yang hendak menikah denga seorang perempuan cantik di negeri Maek. Ia, dan beberapa ibu lainnya hendak Maanta Marapulai. Saya, dan semua yang ada di mobil adalah orang yang baru pertama kali datang ke Maek. Tapi ibu-ibu itu terus saja berisik dan ?mengucap? ucapan bernada serupa.
Selang beberapa jam, setelah singgah bersama ibu-ibu yang mengantar satu anak laki-lakinya yang hendak menikah itu, saya dan teman saya: Rikomo, juga Rito berniat untuk mendatangi menhir. ?Sangat tidak lengkap sekali kalau datang ke sini tidak melihat menhir,? Rikomo bergumam.
Gumamannya disambut: ?Tak jauh dari sini,? kata seorang lelaki yang rela mengantar kami. Hanya melalui dua tanjakan beruntun, kami sampai. Mobil susah masuk. Tak sampai 100 meter jalan kaki, kami dihadapkan pada batu-batu yang menghujam ke bumi. Berwarna coklat, kehitaman. Batu-batu yang entah akan mengisyaratkan apa untuk kehidupan sekarang. Batu-batu yang entah hendak mengingatkan apa dengan bahasa diam mereka.
Di lapangan yang cukup luas itu, terhampar ratusan menhir. Konon, menhir-menhir ini adalah makam-makam sejak zaman pra-sejarah sebagai penanda adanya sebuah peradaban dahulu kala yang telah musnah. Tak ada tulisan di batu-batu itu, hanya simbol-simbol berbentuk bunga yang dipahat pada batu. simbol itu hanya pada menhir yang ukurannya tinggi dan besar.
Konon di negeri itu pernah terbentuk sebuah peradaban yang sudah tenggelam, peradaban yang dibangun sepanjang aliran Batang Maek hingga ke Riau sana. Karena tempat dan negeri ini terkurung gunung, seorang lelaki sakti berkeinginan untuk membuat jalan keluar dari Maek?karena hingga sekarang hanya ada jalan masuk. Dengan mengerahkan segenap ?tenaga? ia akhirnya mendapat jalan buntu. Ia dihadapkan pada gunung-gunung tinggi menjulang. Tapi sang lelaki itu tak putus asa. Ia tembus gunung itu. Hingga sampai sekarang kita bisa melihat kejadiannya: gunung itu tembus. Orang menyebutnya bukik tabuak,atau bukik bolong.
Langit kehilangan warna, senja datang terburu. Bunga-bunga yang tumbuh di sisi-sisi menhir itu mengeluarkan wewangian yang aneh, tapi sejuk. Secara serentak, kami keluar dari areal menhir yang luas itu. Menyusuri jalan yang tak sejengkal pun mulus. Senja kehilangan warna, dangdut kian syahdu saja dalam mobil.(*)