Kampung Cina Bukittinggi

0
123

Udara dingin di Kota Wisata, Bukittinggi mulai menusuk tulang. Sudah hampir senja. Lampu-lampu jalan berwarna kuning menyala terang di sepanjang trotoar. Jembatan Limpapeh berdiri kokoh menaungi Kampung Cina, Jl. A Yani, menambah hangatnya suasana Bukittingi yang dingin. Pagi hingga sore, jalanan di kawasan tersebut ramai mobil yang parkir. Beranjak senja, pemandangan tersebut berganti dengan tenda-tenda penuh aroma.

Itulah nuansa Kampung Cina di Kota Bukittingi yang berubah menjadi surga bagi penggila makan. Bermacam jenis makanannya. Kalau diinventarisir, setidaknya ada empat tenda penjual sekoteng, empat tenda nasi goreng, tiga pecel lele, sate lokan, sate madura, gorengan, nasi ampera, martabak mesir dan puluhan jenis makan lainnya, tetap dengan naungan tenda warna-warni. Memang, pilihan yang membingungkan bagi pengunjung yang ingin memanjakan selera.

Senja itu hujan turun malu-malu. Namun, dingin semakin menusuk tulang menstimulan asam lambung yang hendak segera diisi. Seiring dengan selera makan yang makin memuncak, segala cara ditempuh. Orang-orang yang berjalan-jalan pelan mengenakan baju tebal untuk mengurangi rasa dingin menuju salah satu tenda. Ada pula yang mengenakan jas hujan atau payung, mencari di mana mereka akan makan enak. Tampak, sekumpulan remaja belasan tahun berjalan sambil tertawa-tawa memilih-milih tenda makanan mana yang akan mereka singgahi.

Bahkan, turis asing pun gemar kemari. Mengecap makanan Indonesia yang bermacam atau pun sekedar jalan-jalan saja. Jika berkunjung ke Kampung Cina, turis asing ini lebih suka duduk-duduk dan mengobrol di kafe-kafe sejenis Bedudal Café terletak persis di depan salah satu bank swasta. Tak heran, banyak kendaraan yang parkir di depan kafe-kafe di sepanjang Kampung Cina. Sebuah keluarga besar yang baru saja turun dari mobil tampak tak sabar mengecap menu-menu yang disajikan Nasi Goreng Oke yang berada di seberang rumah makan Gon Raya.

Vito, misalnya, mahasiswa UNP ini mengaku sering makan di Kampung Cina. Menurutnya, makanan di sini enak-enak dan bervariasi. “Lebih banyak pilihan,” tutur Vito yang ketika itu sedang makan bersama teman-temannya di Nasi Goreng Oke, seakan berisyarat, bawalah lidah ke Kampung Cina, untuk melepaskan selera. Lain pula alasan Anwar, bapak 40 tahun ini sering mengajak keluarganya makan di kawasan Kampung Cina. Baginya, tempatnya cukup nyaman dan beberapa tempat memang cocok untuk keluarga.

Teori lokasi kawasan ini juga menjadi salah satu keunggulan . Pasangan remaja, Firman dan Cici, yang masih duduk di bangku SMA beralasan, tempatnya nyaman dan ramai. Tak jarang pengunjung harus mengantre untuk mendapatkan tempat duduk. Kampung Cina malam itu ramai pengunjung. Di salah satu tenda tampak laki-laki 20-an itu sibuk membungkus-bungkus pecel lele yang sudah ditunggu pengunjung. Sesekali ia melirik antrean panjang itu.

Pembeli yang duduk meja panjang itu pun tak sedikit jumlahnya. Semuanya tak sabar ingin segera makan Pecel Lele Pak Lek Pono itu. Meskipun hujan, laki-laki itu tetap semangat. Semangat itu pula yang mempopulerkan tendanya ini. Pecel Lele tetap diminati. Pengunjungnya ramai setiap hari. Tak peduli pelajar, mahasiswa, keluarga, atau kakek nenek. Menurut Pak Lek, setiap harinya tak kurang dari seratus orang pembeli singgah, makan atau membawa pulang dagangannya. “Pembeli membludak pada hari-hari libur atau pun malam minggu. Jika dihitung, bisa mencapai seratus lima puluh orang bahkan dua ratus orang pembeli,” jelasnya.

Harganya pun bersahabat di kantong. Cukup dengan Rp10 ribu, kita sudah bisa mendapatkan sepiring pecel lele atau membawanya pulang. pecel lele ini buka dari pukul 16.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB. Pak Lek Pono dan dua rekannya yang mulai menjual pecel lele dari empat tahun lalu ini mengaku bersyukur dikunjungi banyak pembeli setiap harinya. Apalagi, ia banyak buka cabang yang salah satunya bertempat di kawasan stasiun Bukittinggi.

Lain Pecel Lele Pak Lek Pono yang tak pernah sepi, lain pula Nasi Ampera Emi yang letaknya di simpang tiga Kampung Cina. Ibu Emi yang punya usaha turun-temurun ini mengaku pengunjung berkurang drastis setelah hari raya Idul Fitri tahun ini. Lagipula, menurutnya tak banyak orang yang ingin makan nasi ampera, masakan rumah. Selera masyarakat kini sudah berubah. Lebih memilih makanan baru atau pun cepat saji. Lebih menyukai makanan asing daripada makanan aslinya. “Sudah bosan mungkin,” pikir Ibu tujuh anak itu.

Paling ramai, nasi amperanya hanya dikunjungi tiga puluh orang. Itu pun keluarga yang benar-benar rindu akan masakan rumah khas Minang. Kini tak banyak ibu rumah tangga yang memasak masakan asli Minang. Ibu Emi memang mengandalkan ikan bakar, ayam goreng, dan sayur urap yang dikenal orang sebagai sayur anyang. Ketika ditanya akan dikemanakan sisa makanan yang tak laku dijual itu, Ibu Emi dengan senyum merekah di bibirnya menjawab,”Anak cucu dan menantu Ibu banyak yang akan menghabiskan,” tukasnya.

Anggota keluarganya memang banyak. Usaha nasi ampera ini pun warisan dari orangtuanya. Kadang memang tak balik modal, ceritanya, tapi ia yakin pada usaha yang ia tekuni kini. Ia tetap belanja ke pasar setiap pagi, memasak mulai pukul sebelas, dan membuka nasi amperanya pukul lima sore. Ia tetap semangat, mengobati rindu orang-orang yang benar-benar taragak dengan masakan rumah khas Minangnya. Ketika malam menjelang, suasana tenda-tenda tersebut semakin ramai saja. Kehidupan di Kampung Cina berakhir pada larut malam. Tenda-tenda itu tutup, berbalik pulang. Bersiap pula untuk berdagang esok sore hingga larut malam. Ketika hari berganti, Kampung Cina akan kembali dengan menu jajanan yang sama dan nyawa yang baru.(*)