TUANMUDO – Dalam hidup kita, istilah Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China sudah terwujud secara harfiah. Sejak tahun 2017, saya sudah bermukim di Negeri Panda ini, tepatnya di Wuhan, Provinsi Hubei, ketika berhasil mendapatkan beasiswa China Scholarship Counsil.
Melalui siswa itu, saya mendapat kesempatan menempuh pendidikan di Hubei University, jurusan Criminal Law. Belajar soal hukum dalam bahasa pengantar mandarin tentu saja menjadi salah satu tantangan paling besar dalam hidup saya. Menulisnya saja sulit apalagi mengucapkannya.
Dimasa perkuliahan, saya bermukim di asrama mahasiswa. Sama seperti warga negara Indonesia yang sedang merantau, tentu saja kadang ada rasa rindu pulang ke Tanah Air untuk berkumpul bersama keluarga dan teman-teman, makan makanan khas Indonesia, dan lainnya. Akan tetapi, saya pikir suatu hari saya bakal pulang kampung, sehingga perasaan rindu berusaha saya tahan dengan berkumpul bersama teman-teman baru di sini.
Setelah coronavirus atau virus corona mewabah, Kota Wuhan yang adem ayem mendadak gempar belakangan ini. Sejak 31 Desember 2019, kehebohannya terasa, berawal dari kasus orang yang jatuh sakit karena mengidap penyakit mirip pneumonia; flu, sakit kepala, batuk, demam tinggi, sesak napas, dan radang tenggorokan. Ketika itu, virusnya belum diketahui, sampai 7 Januari 2020 pihak berwenang China mengidentifikasi bahwa penyebabnya adalah virus corona.
Kemudian, denyut kehidupan seakan melambat di Wuhan, ditambah lagi setelah kota ini diisolasi dari luar pada 23 Januari 2020 demi mencegah penyebaran virus yang ternyata telah singgah di sejumlah kawasan dan negara tetangga. Isolasi berarti saya, penduduk, turis, tidak boleh keluar dari Wuhan hingga batas waktu yang tak ditentukan. Akses transportasi darat, laut, dan udara yang melintasi Wuhan ditutup, padahal kota ini merupakan salah satu kota transit yang utama di China.
Melalui data yang diperoleh pada 25 Januari 2020, ada 1.287 orang yang sudah terinfeksi virus corona dan ada 41 orang yang sudah meninggal. Karena dilarang bepergian ke tempat publik, saya dan mahasiswa lain di asrama hanya bisa mengurung diri di kamar. Alhamdulillah, saya dan seluruh mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Wuhan masih sehat walafiat. Pihak kampus meminta kami mengenakan masker saat keluar kamar, mencuci tangan dengan sabun, dan langsung lapor jika mengalami demam di atas 37 derajat Celcius.
Sampai saat ini, makanan, minuman, aliran air, dan listrik masih tersedia di asrama. Hanya saja sudah seminggu kami tidak bisa beraktivitas secara normal. Perasaan bosan, gusar, dan takut menghantui kami. Sampai timbul pikiran “apakah kami yang menjadi korban selanjutnya?”
Menjelang imlek, Virus corona makin mewabah. Tentu saja, suasana Tahun Baru China di Wuhan yang biasanya meriah kali ini terasa lebih suram. Biasanya jelang Imlek jalanan di Wuhan terlihat ramai dipenuhi orang-orang dengan air muka bersukacita hendak pulang kampung berkumpul dengan keluarganya. Namun kini hanya segelintir orang yang terlihat di jalanan, sebagian besar petugas keamanan atau petugas kesehatan dengan pakaian lengkap, mengenakan masker. Sekilas mirip suasana dalam film post-apokaliptik.
Dengan pemerintah kota Wuhan, Saya membaca artikel bahwa pemerintah Amerika Serikat dan Prancis berencana membuat kesepakatan, untuk mengijinkan warga mereka keluar dari Wuhan menuju ke kota Changsa atau ke daerah terdekat lainnya, yang kemudian bisa diterbangkan ke negara mereka. Saya dan mahasiswa Indonesia lain di sini sangat berharap kepada pemerintah Indonesia mengambil tindakan yang sama untuk segera memulangkan kami ke Tanah Air, atau setidaknya mengeluarkan kami dari Wuhan lalu menampung kami terlebih dahulu di KBRI Beijing.
Saya terus berdoa agar wabah virus corona cepat berlalu dan kota Wuhan bisa kembali ceria seperti sedia kala.
Sumber: CNN Indonesia(*)