Abdul Moeis lahir pada tanggal 3 Juni 1883 di Bukittinggi, Sumatra Barat. Ia adalah putra Datuk Tumenggung Lareh, Sungai Puar. Seperti halnya orang-orang Minangkabau Iainnya, Abdul Muis juga memiliki jiwa petualang yang tinggi. Sejak masih remaja ia sudah berani meninggalkan kampung halamannya, merantau ke Pulau Jawa.
Dari tingkat pendidikan Abdul Moeis hanyalah lulusan Sekolah Eropa Rendah (Eur. Lagere School atau yang sering disingkat ELS). Ia memang pernah belajar di Stovia selama tiga setengah tahun (1900–1902). Namun, karena sakit, ia terpaksa keluar dan sekolah kedokteran tersebut. Pada tahun 1917 ia sempat pergi ke Negeri Belanda untuk menambah pengetahuannya.
Meskipun hanya berijazah ujian amtenar kecil (klein ambtenaars examen) dan ELS, Abdul Moeis memiliki kemampuan berbahasa Belanda yang baik. Bahkan, menurut orang Belanda, kemampuan Abdul Muis dalam berbahasa Belanda dianggap melebihi rata-rata orang Belanda sendiri. Oleh karena itu, begitu keluar dan Stovia, ia diangkat oleh Mr. Abendanon, Directeur Onderwzjs (Direktur Pendidikan) pada Departement van Onderwijs en Eredienst yang kebetulan membawahi Stovia. menjadi kierk. Padahal, pada waktu itu belum ada orang pribumi yang diangkat sebagai kierk. Konon, Abdul Moeis-lah orang Indonesia pertama yang dapat menjadi kierk. Ia hanya bekerja disini selama dua tahun (1903-1905).
Setelah itu berbagai pekerjaan pernah ditekuni oleh Abdul Moeis, pekerjaan yang pertama kali diterjuninya adalah bidang jurnalistik. Pada tahun 1905 itu juga ia diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia, sebuah majalah yang banyak memuat berita politik, di Bandung. Tapi pada tahun 1907 majalah ini dilarang terbit oleh penjajah.
Setelah itu Abdul Moeis pindah kerja ke Bandungsche Afdeelingsbank sebagai mantri lumbung. Pekerjaan itu ditekuninya selama lebih kurang lima tahun, sebelum ia diperhentikan dengan hormat (karena cekcok dengan controleur) pada tahun 1912.
Kemudian ia bekerja kembali sebagai jurnalis di De Prianger Bode, sebuah surat kabar (harian) Belanda yang terbit di Bandung, sebagai korektor, Hanya dalam tempo tiga bulan, ia diangkat menjadi hoofdcorrector (korektor kepala) karena kemampuan berbahasa Belandanya yang baik. Pada tahun 1913 Abdul Moeis keluar dari De Prianger Bode.
Kemudian ia mulai tertarik pada dunia politik dan masuklah ia ke Serikat Islam (SI). Bersama dengan mendiang A.H. Wignyadisastra, Ia dipercaya untuk memimpin Kaum Muda, salah satu surat kabar milik SI yang terbit di Bandung. Pada tahun itu pula, atas inisiatif dr. Cipto Mangunkusumo, Abdul Muis (bersama dengan Wignyadisastra dan Suwardi Suryaningrat) membentuk Komite Bumi Putra untuk mengadakan perlawanan terhadap maksud Belanda mengadakan perayaan besar-besaran 100 tahun kemerdekaannya serta untuk mendesak Ratu Belanda agar memberikan kebebasan bagi bangsa Indonesia dalam berpolitik dan bernegara.
Di masa pendudukan Jepang, Abdul Moeis diangkat sebagai pegawai sociale zaken ‘hal-hal kemasyarakatan’. Karena sudah merasa tua, pada tahun 1944 Abdul Moeis berhenti bekerja.
Selain seorang politisi Abdul Moeis juga merupakan seorang sastrawan, ia juga pernah bekerja di dunia penerbitan, terutama di harian Kaum Muda yang dipimpinnya. Dengan menggunakan inisial nama: A.M. ia menulis hanyak hal. salah satu di antananya adalah roman sejarahnya. Surapati. Konon. sebelum diterbitkan sebagai buku, roman tersebut dimuat sebagal feui/leton ‘cerita bersambung’ pada Kaum Muda. Salah satu karyanya yang terkenal adalah novel Salah Asuhan.
Sastrawan yang sekaligus juga pejuang dan wartawan ini meninggal dunia di Bandung pada tanggal 17 Juni 1959 dalam usia 76 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pahlawan Cikutra, Bandung. (*)